Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutif LSM Sembilan

Jambi Serasah com – Semua Polemik dalam hal pemanfaatan Sumber Daya Alam seperti Minyak dan Gas, Mineral Batubara dan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) berawal dari lemahnya kesadaran akan pelaksanaan penegakan norma atau kaidah Hukum Perizinan, dan Hukum Lingkungan.

Bahkan fakta tentang beberapa polemik yang ada menunjukan bagaimana luas dan besarnya kekuasaan Oligarki dan Kleptokrasi serta kekuasaan ala kaum Plutokrasi.

Sepertinya masih terjadi kekosongan hukum menyangkut tentang keberadaan kaum dan praktek paham-paham yang layak dinilai sebagai virus ganas perusak system Demokrasi tersebut.

Pemerintah terkesan belum memiliki kemampuan untuk memandang bahwa ketiga golongan tersebut sebagai suatu musuh besar bagi negara, hingga baik secara implisit maupun eksplisit belum ada ketentuan yang melarang secara tegas praktek-praktek yang termasuk kategori kelompok diatas.

Bahkan terkesan Pemerintah dan Hukum telah tunduk dan takluk dibawa kekuasaan ajaran yang bertentangan dengan paham Demokrasi tersebut, seakan-akan negara dan bangsa ini masih berstatus sebagai negara dan bangsa terjajah.

Keadaan tersebut dapat dilihat ataupun tergambar dari beberapa fakta yang menunjukan bahwa pemanfaatan Sumber Daya Alam antara lain seperti Mineral Batubara memang benar-benar telah menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya musuh-musuh Demokrasi sebagaimana diatas.

Kesuburan lahan bagi rivalitas demokrasi yang berhasil membuat terdegradasinya kesadaran akan pemahan terhadap instrument hukum terutama menyangkut tentang prinsif pembangunan berkelanjutan (Sustuinable Development).

Jangankan untuk pelaksanaan isi daripada deklarasi Stockholm (1972) justru yang terjadi sebaliknya dimana Hukum dan Pemerintah terkesan telah berhasil dilumpuhkan oleh barisan virus demokrasi hingga pemerintah terlihat seakan-akan cenderung lebih dominan melahirkan sejumlah kebijakan yang tidak memiliki Kepastian Hukum, serta bertentangan dengan amanat suara rakyat.

Baca juga:  Pilihan Berisiko: Mantan Pencandu Narkoba dan Isu Moralitas di Pilkada 2024

Suatu gambaran tentang praktek pembiaran dan merajalelanya praktek pengabaian terhadap nasib dan rezeki generasi mendatang sebagai penerus keberlangsungan kedaulatan bangsa dan negara.

Padahal secara normative amanat konstitusional mengatur Pemerintah dalam keadaan tertentu dapat melakukan upaya paksa untuk itu Pemerintah dilengkapi dengan alat negara bersenjata (TNI) dan dipersenjatai (POLRI).

Secara tersembunyi (bathiniah) diluar kekuatan alat negara berlandaskan norma atau kaidah hukum tersebut pemerintah dilengkapi dengan suatu kekuatan yang paling amat dahsyat yaitu dengan keberadaan dan dukungan adanya “Suara Tuhan” sebagaimana keyakinan bersama suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Vovuli Vox Dei).

Proses penerimaan amanat kekuatan suara yang dilakukan dengan cara menghadirkan Tuhan beserta Iman sebagai saksi dalam pengucapan kalimat yang dianggap suci dan disakralkan.

Kekuatan suara rakyat yang menitipkan amanah dalam ruang lingkup penghambaan berupa pelayanan dan pengayoman serta perlindungan bagi rakyat guna mencapai tujuan negara.

Sepertinya kesakralan Sumpah Jabatan telah mengalami abrasi dan telah tertimbun oleh tebalnya timbunan limbah kepentingan politik dan kekuasaan, hingga menimbulkan kesan adanya kesepakatan untuk secara bersama-sama menaklukan dan mengabaikan suara Tuhan.

Limbah-limbah yang tercipta dari Cacat Nalar (Legal Fallacy) ataupun Sesat Pikiran. Kondisi pemikiran yang bertentangan dengan konsep Animal Rasionale (Manusia Hewan yang berpikir).

Sederhananya akal pikiran adalah alat utama sebagai tolak ukur untuk membedakan antara manusia dengan binatang.

Agar tidak menimbulkan suatu jeadaan yang lebih menonjolkan gambaran manusia tidak berbeda dengan binatang buas yang diumpamakan dengan Srigala, sebagai perwakilan komunitas binatang buas.

Dari situ dapat ditarik suatu kesimpuan bahwa manusia yang mengalami cacat nalar dan/atau sesat pikiran tidak berbeda dengan binatang buas, atau binatang buas bertubuhkan manusia.

Baca juga:  Mengelola Defisit Anggaran Provinsi Jambi: Tantangan dan Solusi

Sementara kebijakan itu sendiri, tercipta dan terwujud serta berasal dari akal dan pikiran, maka secara tidak langsung kebijakan dapat dianalogkan kebijakan sebagai pembeda antara manusia dan binatang.

Disamping sebagai pembeda, kebijakan juga sebagai filter ataupun pembatas agar tidak terjadi suatu keadaan di mana manusia benar-benar berprilaku sebagaimana yang di kemukakan oleh Thommas Hobbes yang menilai manusia srigala bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus).

Seharusnya akal pikiran yang sehat mampu menjadi kontrol bagi manusia dalam melakukan pengelolaan Sumber Daya Alam dengan meletakan manusia tetap berada pada posisinya sebagaimana pandangan Ariestoteles yang menilai manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang bertindak dan berpikir dengan menggunakan akal sehat.

Akal Sehat yang mampu untuk tetap mengedepankan nilai-nilai manusiawi dengan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial atau hewan yang berpolitik (Zoonpoliticon), yang hidup bermasyarakat, beretika dan berperadaban serta mampu menciptakan tata tertib, dengan menenggelamkan dan mengubur sifat rakus dan keserakahan, yang identik dengan sifat-sifat kebinatangan.